Senin, 26 Desember 2011

Kata temanku : Kalau Infaq “jangan” ke Masjid …?

Dalam sebuah diskusi ringan dengan salah seorang pemuda muslim, yang saat itu membahas tentang peran dan fungsi Baitul Maal Masjid, banyak sekali lontaran ide dan gagasan yang mengalir begitu banyak diruang diskusi. Dari sekian banyak gagasan dan lontaran ide yang mengemuka, ada satu hal yang menarik perhatianku untuk terus ku renungkan dan ku pikirkan dengan seksama.

Pemuda tersebut menyampaikan (walaupun ucapan ini hanya sekedar menyambung ucapan temannya dulu saat bertemu) Dengan agak bersemangat dia menuturkan pengalamannya. Berarti benar dong mas, .. kata teman saya saat itu, yang mengatakan “kalau infaq sebaiknya jangan di masjid, lebih baik disalurkan langsung aja pada mereka yang membutuhkan, kalau di masjid biasanya sih hanya diendapkan aja dan ujung-ujungnya untuk mbangun fisik masjid semata”. Tidak cukup berhenti disitu saja, pemuda tersebut pun melanjutkan ucapannya, saya baru sadar mas,  setelah diskusi dengan jenengan tentang peran dan fungsi baitul maal masjid. Mendengar ungkapan pemuda tersebut, saya hanya diam dan tak memberikan jawaban apa-apa terlebih lagi membenarkan atau menyalahkannya.

Pembaca sekalian, setelah usai berdikusi saya terus merenungkan ucapan yang disampaikan pemuda tersebut. Kenapa ya, kok ada orang Islam yang enggan untuk infaq ke masjid ? Padahal masjid kan ladang amal sholeh yang sangat potensial bagi setiap muslim ? Apa ada yang salah dengan masjidnya atau yang salah adalah perintah untuk berinfaqnya ? Jelas semua itu tidak mungkin, sebab memakmurkan masjid dan perintah infaq itu telah digariskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Lalu apa yang salah ?
Setelah lama berpikir dan merenungkan dengan seksama, baru saya menyadari bahwa kesalahan bukan terletak pada masjidnya atau perintah untuk berinfaq. Tapi, kesalahan itu justru terletak pada mereka-mereka yang diamanahi untuk mengelola infaq ummat.
Pembaca sekalian, keengganan infaq ke masjid jika didasari atas tidak peduli dengan masjid atau enggan untuk mematuhi perintah berinfaq, jelas ini adalah kekeliruan yang besar, hal ini menjadi bukti ketidak komitmenya pada Islam. Tapi, jika keengganan ini didasari atas tidak adanya kepercayaan ummat pada para pengurus/takmir masjidnya dalam mengelola Infaq jama’ahnya, maka persoalan ini sah-sah saja untuk dijadikan argumentasi, mengapa dirinya enggan untuk infaq ke masjid dan lebih memilih untuk disalurkannya sendiri.
Yang jadi pertayaan kita adalah kenapa ada jama’ah masjid yang tak percaya pada takmir/pengurus masjid dalam mengelola Infaqnya ? Ada beberapa alasan, antara lain :
  1. Dirinya ingin agar infaq tersebut bisa segera sampai pada yang berhak menerima dan membutuhkan. Sehingga dirinya pun merasa nyaman bahwa dirinya telah ikut andil membantu saudara sesama muslim dengan segera tanpa ditunda-tunda lagi.
  2. 2.Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa banyak takmir masjid saat ini yang sengaja menahan infaq para jama’ah masjidnya. Sehingga infaq tersebut tidak segera disalurkan pada mereka yang berhak, tapi malah di endapkan/disimpan di bank. Dan ujung-ujungnya digunakan untuk mbangun fisik masjid semata. Mungkin maksudnya baik agar uang tidak hilang/berkurang, tapi karena paradigma (cara pandangnya) keliru, justru menjadikan dana tersebut tertahan di masjid, padahal banyak masyarakat sekitar masjid yang membutuhkan uluran bantuan.
  3. Tidak adanya keterbukaan/transparasi dana oleh ketua Takmir masjid. Kalaupun ada hanya dana yang diperoleh dari infaq jumatan semata, sementara dari sumber-sumber  lainnya seringkali luput dari pantauan jama’ah.
  4. Tidak memiliki manajemen/tata kelola yang baik.Hal ini terlihat pada penyusunan laporan keuangan masjid yang bisa dikatakan asal-asalan semata, cukup print 1 lembar kemudian tempel dipapan pengumuman masjid. Tidak punya kop surat, amplop resmi masjid, tempat arsip yang baik dll (tak sebanding dengan jumlah kas masjid yang melimpah dan megahnya masjid)
Beberapa faktor diatas sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan jama’ah pada takmir masjidnya. Jika kepercayaan itu terus saja menyusut, maka bisa jadi akan muncul lebih banyak lagi jama’ah masjid yang justru enggan untuk berinfaq ke masjid. Kalau sudah demikian, lalu siapa yang akan mendanai kegiatan dan kemakmuran masjid, kalau bukan jama’ah masjid sendiri ?
Pembaca sekalian, dalam persoalan ini kita memang tidak bisa menyalahkan siapapun,  sebab ini berhubungan dengan kepercayaan jama’ah pada takmir masjinya.  Yang terpenting yakni persoalan di atas seharusnya mampu menjadi pelajaran bagi kita untuk berbenah diri dan meningkatkan kepercayaan jama’ah, sehingga masjid tidak kehilangan kepercayaan,khususnya pengelolaan infaqnya.
Ini adalah tantangan bagi takmir masjid, mampukah membangun kepercayaan itu, sebab kepercayaan itu tidak bisa kita dapatkan hanya dengan duduk-duduk semata, mengurus masjid hanya waktu sisa semata, atau bahkan mencari “kambing hitam” untuk dipersalahkan demi menyelamatkan reputasinya sebagai ketua takmir masjid.
Kini saatnya kita membangun umat, dengan menerima masukkan dari siapapun tanpa memandang kelompok, golongan dan ormas tertentu. Kemudian belajarlah  dan teruslah  meningkatkan diri, niscaya anda akan menjadi takmnir masjid yang berhasil, dan tidak hanya pandai membangun fisik masjid semata atau mengadakan kegiatan besar yang memakan dana banyak semata…Wallahu ‘alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar