Jumat, 23 Desember 2011

CARA PANDANG MASYARAKAT TERHADAP PENGHAFAL AL QUR’AN MASA KINI

Waktu pagi menjelang siang, ada sekumpulan ibu – ibu yang sedang berbelanja, asik memang kalau kita menyaksikan ibu – ibu berkumpul, pasti ada yang seru untuk jadi bahan obrolan. Kebetulan saat itu ibu – ibu pada pusing untuk mencarikan sekolah anak – anak mereka. Tak lama kemudian disela – sela berbelanja, terjadilan obrolan yang seru tentang rencana menyekolahkan anaknya masing – masing. Saat itu Bu yono ( nama samaran ) mengawali obrolan mengatakan : “Bu , maaf ya saya tidak bisa ikut rapat PKK nanti, sebab saya mau mencarikan sekolah anak saya ke sekolah Favorit yang dekat Lapangan Stadion“ Kemudian ada ibu yang menyela bertanya : “Lho….bu Yono, mengapa tidak ke pondok pesantren saja, kan lebih dekat dari kampung kita ?, lagiankan anak kita nanti bisa baca Al – Qur’an ?” Wah gimana ya bu, ……. kalau ke Pondok pesantren takutnya sih pendidikannya kurang baik, terus nanti kalau lulus mau kerja apa ? Lagian kalau ingin bisa ngaji, tidak ke Pondok juga bisa !, disamping itu Pondok pesantren sekarang mana ada yang baik ? jika dibandingkan dengan sekolah favorit saat ini ? ”Jawab bu Yono berargumen
Pembaca yang budiman …..obrolan ibu – ibu di atas, barangkali sering kita dengar di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, bahkan boleh jadi kita termasuk orang yang sependapat dengan bu Yono di atas. Argumentasi bu Yono ini setidaknya menjadi cermin bagi kita, untuk melihat kenyataan yang ada ditengah – tengah masyarakat, bahwa masyarakat saat ini masih kurang termotivasi untuk membekali anak – anak mereka dengan bekal – bekal ilmu agama. Pendapat Bu yono dalam merencanakan sekolah anaknya patut untuk kita sikapi dengan bijaksana, mengingat upaya kita memberikan informasi pada masyarakat masih terlalu minim dibandingkan dengan derasnya arus informaasi yang diserap masyarakat. Pendapat Bu Yono di atas hanyalah salah satu contoh, dari sekian pendapat atau ungkapan yang berkembang ditengah – tengah masyarakat. Kalau kita mengetahui kenyataan ini dan berhadapan langsung dengan tipe – tipe orang yang memiliki pendapat, sebagaimana pendapat bu Yono, apa kira – kira yang bisa kita perbuat ? Apa sekedar memberikan argumentasi balik ? Sementara itu, banyak masyarakat kita yang masih cenderung berpikir secara praktis, dalam arti mereka hanya bisa kita jelaskan dengan bukti nyata. Maka, alangkah beratnya usaha kita untuk memberikan penjelasan, kalau kenyataannya bukti nyata terlalu sulit untuk kita paparkan dihadapan khalayak.
Dengan adanya fenomena tersebut, mengharuskan kita untuk tidak menutup mata dan telinga rapat – rapat, kalau kenyataanya cara pandang masyarakat terhadap para penghafal Al Qur’an masih keliru dan cenderung apriori. Sikap apriori ini sebagai pertanda, bahwa masyarakat masih terlalu dini untuk diajak peduli dengan hadirnya penghafal Al Qur’an. Sehingga untuk saat ini, barangkali belum saatnya menuntut banyak peran aktif masyarakat, tetapi bagaimana para penghafal Al Qur’an yang justru proaktif dalam berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga pada akhirnya masyarakat merasakan betul kemanfaatan dengan hadirnya para penghafal Al Qur’an ini.
Melihat kondisi di atas, jika diperbandingkan dengan negara di Timur Tengah yakni negeri asal mula Islam lahir, maka semangat masyarakat dalam menghafal Al Qur’an masih sangat kurang. Contohnya barangkali, pernah ada seorang ustadz atau sering di tempat kita disebut seorang Kyai ( orang yang ahli agama ) melakukan ibadah umroh, kebetulan saat itu beliau berbincang – bincang dengan salah seorang jama’ah dari negara lain, dengan menggunakan dialek bahasa Arab. Singkat cerita, Kyai kita ini sangat kagum terhadap orang tersebut, yang berprofesi sebagai seorang dokter, tetapi juga hafal Al Qur’an. Begitu pula sebaliknya seorang dokter itu pun terheran – heran dengan seorang Kyai kita, dengan mengatakan : “Anda seorang Kyai ( orang yang ahli agama ), tetapi tidak hafal Al Qur’an ?” tanya dokter tersebut dengan penuh keheranan.
Inilah dua gambaran masyarakat yang sangat berbeda dalam merespon adanya para penghafal Al Qur’an, bahwa fenomena adanya seorang dokter yang hafal Al Qur’an sudah menjadi pandangan yang biasa masyarakat di sana. Sementara dalam komunitas masyarakat kita, lahirnya seorang penghafal Al Qur’an, yang tidak melalui jenjang pendidikan tahfidz, bisa dikatakan tidak ada, atau kalau pun ada, masih bisa dihitung dengan jari. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Tak lain karena menghafal Al Qur’an sudah sangat memasyarakat di sana, sementara itu masyarakat kita masih sangat jauh, bahkan bisa dikatakan masih kurang peduli.
Kesimpulannya, bahwa terjadinya fenomena di atas disebabkan masyarakat kita saat ini masih keliru dan kurang termotivasi dengan hadirnya para penghafal Al Qur’an. Apalagi sampai bersemangat menyekolahkan anak – anak mereka ke pondok pesantren, terlebih lagi pondok pesantren yang mengkader dan membina para santrinya menjadi penghafal Al Qur’an.
Minimnya antusias masyarakat mendidik anak – anak mereka menjadi penghafal Al Qur’an, setidaknya bisa dimaklumi, mengingat kesadaran yang ada pada masyarakat tentang urgensinya menjadi penghafal Al Qur’an belum menyentuh seluruh sisi kehidupan masyarakat. Maka wajar, kalau kita mendapati penghargaan serta rasa simpati umat terhadap para penghafal Al Qur’an, sangat jarang ditemukan pada masyarakat kita. Terlebih lagi rasa bangga seandainya anak – anak kita menjadi penghafal Al Qur’an. Seakan – akan kebanggaan itupun sirna jika dibandingkan dengan berbagai harapan lainnya, misalnya jadi pejabat, dokter, dosen, sarjana dan lainnya, daripada hanya sekedar menjadi pengahafal Al Qur’an. Masyarakat kita barangkali berpikir, apa sih yang bisa diharapkan dari seorang penghafal Al Qur’an ? Apa ada perusahaan yang mau menerima karyawan, dengan syarat hafal Al Qur’an ?
Ya….. saya katakan hanya sekedar menjadi penghafal Al Qur’an ?!, barangkali inilah ungkapaan yang sebenarnya dari pandangan masyarakat kita terhadap hadirnya penghafal Al Qur’an, namun hal ini tidak kita disadari sama sekali. Dari cara pandang ini, tentunya berpotensi untuk menimbulkan implikasi lainnya, salah satu yakni menimbulkan perasaan kurang peduli, kurang antusias, kurang termotivasi dan lain – lain. Atau mungkin masyarakat menilai, bahwa kemampuan yang dimiliki seorang penghafal Al Qur’an hanya sekedar menghafal Al Qur’an semata ? Kalau mungkin seperti ini faktanya, kita akan banyak menjumpai ditengah masyarakat ungkapan yang mengatakan “Wah ….. bisanya hanya menghafal Al Qur’an saja ?! Sementara kemampuan yang lain ….nol besar ? “Sungguh ironis kalau ungkapan ini kenyataannya ada ditengah masyarakat kita saat ini. Padahal mampunya seseorang menghafal Al Qur’an adalah kemampuan yang patut dibanggakan, sementara kemampuan lainnya, Insya’ Allah mudah kita dapatkan. Tapi dengan catatan, bahwa selesainya kita menghafal Al Qur’an bukanlah akhir untuk mengembangkan potensi dan kemampuan kita yang lain, wallahu a’lam.
Dari persoalan di atas, yang jelas bahwa masyarakat saat ini memiliki cara pandang yang kurang jernih dengan hadirnya para penghafal Al Qur’an. Kurang jernihnya masyarakat dalam memandang hadirnya sosok penghafal Al Qur’an, banyak faktor yang mendasarinya, antara lain ………………...bersambung
(Sumber : “Buku menjadi penghafal Al Qur’an pada masyarakat modern”, karya Ustadzah Romlah Naila Hafazhah Fillah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar